Tawa riang anak remaja membahana menembus lorong itu. Senyum sapa tak sengaja menjadi pintu masuk sebuah perkenalan. Aku, kamu, dan tatapan itu. "Hai" , aku membalasnya dengan senyum malu-malu seraya melanjutkan candaanku bersama teman lainnya.
Tak lama aku terima pesan pendek disebuah kertas dimeja sekolah, "Semoga perkenalan tadi berlanjut :)" tawa kecil pun keluar dari bibirku.
Ingatkah kamu?
Saat itu pada masa nya seiring dengan waktu, raut wajah tingkah polos mengartikan bahwa kita belajar tentang sebuah rasa untuk pertama kali. Dan sikap manismu membuat aku tersentuh.
Saat itu pada masa nya seiring dengan waktu, raut wajah tingkah polos mengartikan bahwa kita belajar tentang sebuah rasa untuk pertama kali. Dan sikap manismu membuat aku tersentuh.
Malu - malu untuk memulai namun senyum diwajah tidak dapat di bohongi apa yang tersirat dihati.
Ya, kita memulai sebuah rasa itu untuk dinikmati bersama.
"Aku ingin mengenalmu lebih dari orang lain mengenalmu. Aku ingin bersamamu, bukan dengan orang lain."
"Iya." Aku tersenyum dan jiwaku melayang terbang kelangit ketujuh.
Sejak itu kamu dan aku menjadi "kita" . Dan hujan di hari jumat itu menjadi saksi.
Terpancar kebahagiaan diwajahmu saat kau genggam tanganku.
Selanjutnya mulai ada berbagai cerita yang selalu kita perbincangkan. Tentang sekolah, tentang mimpi, tentang kita. Mungkin ini jalannya agar kita dapat saling mengerti, memahami, dan mengenal satu sama lain.
Aku pun tidak pernah mencoba menjadi orang lain, karena kau tidak pernah memintaku menjadi siapapun.
Pesan pendek yang sering kau kirimkan untukku, mungkin bagi orang kain itu hanya selembar kecil kertas yang tidak begitu berarti apa-apa. Tapi bagiku itu berarti, karena aku melihat usahamu disetiap lekukan tulisan dan robekan rapih dari kertas itu.
"Aku tunggu kamu di parkiran." "Pulang sekolah aku latihan basket dulu." "Nanti malam aku telepon yah." dan lain-lain..
Dan aku membalasnya dengan pesan pendek yang sama. "Yang konsen ya belajarnya, jangan bercanda terus." atau "Aku pulang duluan, kamu lama basketnya." Tidak jarang aku mengomel karena cukup lama menunggumu latihan basket sampai akhirnya aku pulang sendiri.
Bersatu dalam asa, menggapai mimpi, mengayuh di roda kehidupan yang kita jalani bersama.
Adakah hal yang lebih membahagiakan saat kau dibuat merasa istimewa kehadirannya?
Dan kau membuat aku merasakan itu..
22 bulan kita menjalani masa itu, dan tidak sedikit kerikil yang menghalangi. Salah paham, beda pendapat, emosi yang tidak stabil, bahkan yang ada terkadang hanya keegoisan. Satu ucapan yang aku ingat,"Apapun aku terima jalannya untuk aku lebih kenali dirimu dan diriku sendiri."
Namun tiba-tiba di bulan ke 23, kau mulai berubah. Kau sedikit acuh padaku.
Entah apa yang terjadi padamu saat itu, namun semakin lama aku merasa semakin tidak mengenalmu. Jangankan untuk berbicara, bertemu pun kita sudah jarang.
Ingin aku memaksakan hatiku untuk bertanya apa yang terjadi padamu? Tapi dengan tidak adanya pengalaman aku bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk itu, aku diam.
Dan tepat di hari perpisahan sekolah, bukan hanya ucapan selamat menempuh pendidikan yang lebih tinggi, tapi kau juga mengucapkan perpisahan lain padaku. Dengan wajah masam dan senyum tipis, kau menatap mataku dan berkata, "Mulai sekarang kita jalani hidup kita masing-masing." Lalu kau menjabat tanganku. Dan memberikan aku selembar kertas.
Kegeraman, tanda tanya menyelimuti otakku. "Bukankah seharusnya kita bergembira karena telah lulus sekolah? Mengapa harus aku dengar kalimat itu dari mulutmu tepat di moment ini? Tidakkah kau memikirkan perasaanku? Tidakkah kau sedikit saja mengulur waktu dan menjelaskan perlahan apa yang terjadi padamu akhir-akhir ini? Dan bukankah sebentar lagi kita merayakan 24 bulan kita?"
"Sudah jangan nangis. Kamu harus bisa hadapi hidupmu sendiri." Kemudian kamu pergi tanpa menoleh sedikitpun dan membiarkan aku menangis.
Perlahan ku buka kertas itu,
Beriringan dengan hujan, serasa aku tidak dapat berjalan. Bahkan mungkin jika orang lain memberi aku tongkat atau kursi roda, aku lebih memilih mati rasa.
Hujan, saksi dimana saat aku pertama bahagia olehmu dan saat pertama aku sangat terluka olehmu juga.
Hari demi hari coba aku lakukan untuk tidak mengingatmu. Pesan singkat yang sudah aku buat dan tinggal aku kirim, hanya tersimpan di draft. Mencoba untuk melawan rasa keingintahuan aku tentang kabarmu menajdi musuh yang harus aku lawan. Ingatanku kembali saat dimana kau peri dan sejak itu aku berjanji untuk membencimu. Karena mengingat semua tentangmu seperti ini sangat menyayat kalbu. Sayapku patah, sandaranku hilang, dan aku terjerembab dalam keadaan yang memuakkan ini.
Entah apa yang terjadi padamu saat itu, namun semakin lama aku merasa semakin tidak mengenalmu. Jangankan untuk berbicara, bertemu pun kita sudah jarang.
Ingin aku memaksakan hatiku untuk bertanya apa yang terjadi padamu? Tapi dengan tidak adanya pengalaman aku bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk itu, aku diam.
Dan tepat di hari perpisahan sekolah, bukan hanya ucapan selamat menempuh pendidikan yang lebih tinggi, tapi kau juga mengucapkan perpisahan lain padaku. Dengan wajah masam dan senyum tipis, kau menatap mataku dan berkata, "Mulai sekarang kita jalani hidup kita masing-masing." Lalu kau menjabat tanganku. Dan memberikan aku selembar kertas.
Kegeraman, tanda tanya menyelimuti otakku. "Bukankah seharusnya kita bergembira karena telah lulus sekolah? Mengapa harus aku dengar kalimat itu dari mulutmu tepat di moment ini? Tidakkah kau memikirkan perasaanku? Tidakkah kau sedikit saja mengulur waktu dan menjelaskan perlahan apa yang terjadi padamu akhir-akhir ini? Dan bukankah sebentar lagi kita merayakan 24 bulan kita?"
"Sudah jangan nangis. Kamu harus bisa hadapi hidupmu sendiri." Kemudian kamu pergi tanpa menoleh sedikitpun dan membiarkan aku menangis.
Perlahan ku buka kertas itu,
Maafkan akuBagai tersambar petir, dada ini terasa sesak. Untuk pertama kalinya kamu membiarkan aku menangis bahkan karena ulahmu sendiri. Apakah ini termasuk cara aku untuk memahami tingkah anehmu? Tidak. Ini bukan hanya sekedar tingkah aneh, ini sudah pilihanmu. Dan ini sangat menyakitiku.
Aku tak bermaksud begitu
Sebetulnya aku tak ingin pisah darimu
Jika saatnya tiba, kan ku katakan semua
Beriringan dengan hujan, serasa aku tidak dapat berjalan. Bahkan mungkin jika orang lain memberi aku tongkat atau kursi roda, aku lebih memilih mati rasa.
Hujan, saksi dimana saat aku pertama bahagia olehmu dan saat pertama aku sangat terluka olehmu juga.
Hari demi hari coba aku lakukan untuk tidak mengingatmu. Pesan singkat yang sudah aku buat dan tinggal aku kirim, hanya tersimpan di draft. Mencoba untuk melawan rasa keingintahuan aku tentang kabarmu menajdi musuh yang harus aku lawan. Ingatanku kembali saat dimana kau peri dan sejak itu aku berjanji untuk membencimu. Karena mengingat semua tentangmu seperti ini sangat menyayat kalbu. Sayapku patah, sandaranku hilang, dan aku terjerembab dalam keadaan yang memuakkan ini.
Cukup empat kali musim berganti, ratapan ku akan dirimu. Kehidupan ku berjalan dinamis namun terkadang cukup statis. Aku mulai mencintai kesendirian ku ini. Berbaur sepi kadang gelisah. Teman-teman ku yang lain memang banyak. Tapi tidak dipungkiri, aku sudah terbiasa dengan makna sepi ini. Ku tutup halaman cerita hidup ku bersamamu, kusimpan paling dalam di palung hatiku dan ku ganti dengan halaman baru. Ku coba kepakkan kembali sayap ku yang sempat patah. Ku biarkan mengudara, kembali terbang tanpa ada kerisauan. Kini aku dengan jiwa baru. Aku yakin aku bisa terbang lebih tinggi dari kemarin.
Aku diam.
Aku berpikir.
Aku bertindak.
Dan aku meraih.
Sendiri.
Ya, ternyata aku bisa sendiri. Meraih sedikit demi sedikit apa yang aku inginkan untuk masa depanku.
Bersamaan dengan itu, aku mengenal laki-laki lain. Lelaki yang mengisi hari-hari ku kembali.
Ku akui dia membuatku merasakan sesuatu, rasa yang telah lama tak ku rasakan. Dia mengembalikan tawa ku yang telah lama aku tepikan dibalik jiwaku yang menjadi keras ini.
Namun kisah kami tidak lama, ada beberapa hal yang kami rasa kami lebih pantas menjadi teman baik. Sampai akhirnya kami harus menghentikan kisah ini. Dan aku lebih siap sekarang.
Untuk kali ini aku tidak sesedih kisah sebelumnya. Bukan berarti aku tidak sedih. Tapi saat ini aku sudah tahu aku harus bagaimana menghadapi situasi gamang seperti ini. Tidak akan aku menyianyiakan waktuku untuk meratapi hidup.
Dddrrrtttt…
Nada pesan masuk dari telepon genggamku berbunyi.
“Dear all Akt’05 SMA Budi Pertiwi. Kami mengundang anda dalam acara Temu Kangen dan Halal Bihalal. Pada hari Minggu 4 Februari 2012. Bertempat di Aula Sekolah. Terima kasih”
Dalam hati kembali mengingat kepada sosok yang lama telah aku singkirkan, apakah kamu akan hadir? Apa yang harus aku lakukan jika aku bertemu denganmu? Tetapi dari kabar terakhir yang aku dengar, teman-teman lain sulit untuk melacak keberadaanmu semenjak lulus sekolah. Dan sedikit kemungkinan berita ini sampai padamu.
Namun dugaanku salah, berpapasan saat aku menandatangani buku tamu, kau hadir disebelahku. Ya aku yakin itu kamu, meski wajahmu sedikit berubah, ada rambut-rambut halus dibawah dagu dan sekitarnya.
Perasaan gugup tiba-tiba menghantuiku, ku tolehkan wajahku dan kubawa diriku mendekat teman-teman lain. Tidak aku pikirkan gimana perasaanmu saat aku tidak menegurmu.
Aku nikmati setiap susunan acara yang berlangsung, tidak aku hiraukan perasaan aneh sejak pertama kali melihatmu lagi. Mungkin teman-teman lain berpikir mengapa aku tidak mengobrol denganmu atau hanya sekedar bertegur sapa.
Lalu kemudian kamu naik keatas panggung dan menyumbangkan sebuah lagu akustik milik Kerispatih.
"..Engkau masih yang terindah... Indah didalam hatiku.. Mengapa kisah kita berakhir yang seperti ini.."
Perasaan aneh kembali menghantuiku, harusnya itu semua tidak berefek apa-apa untukku. Itu lagu umum yang semua orang aku rasa mengetahuinya, apa mungkin karena kamu yang menyanyikannya sehingga membuat jantungku berdebar.
Kutinggalkan kau yang masih bernyanyi dipanggung, dan aku berniat pulang.
"Hey"
Aku masih ingat suara itu. Entah apa yang menahanku, ku biarkan diriku mematung tanpa menoleh kearah suara itu. Semilir angin menembus masuk dan membuat malam ini lebih beku dari biasanya.
Kemudian kau tepat berada didepanku.
“Akhirnya aku dapat melihatmu.”
Begitu kau berucap. Hatiku bersorak, entah sorakan tanda gembira atau desahan. Tapi aku hanya diam tanpa mengucap apapun. Semuanya tersendat. Tapi aku dapat merasakan kau amat lekat menatapku. Lama kita dalam bisu. Hanya suara lalu lalang jalan yang meramaikan malam pertemuan ini. Aku tidak tau apa yang kau pikirkan. Bahkan aku pun tidak tau apa yang sekarang aku pikirkan. Dan sekali lagi, aku hanya diam.
Senyap. Kau masih menatapku. Seandainya lampu-lampu jalan bisa berkata, mungkin mereka akan berkomentar tentang aku yang masih diam.
"Kamu selalu ada di pikiranku . Berputar-putar dan tak pernah berhenti."
Kerongkonganku terasa kering. Seulas senyum klise sebagai tanda aku menaggapi bicaramu.
to bo continued..